Praktik Menghafal al-Quran
Oleh: KH. Ahsin Sakho Muhammad
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menghafal Al-Qur’an:
Pertama, persiapan spiritual: niat yang ikhlas yaitu hanya karena mencari ridha Allah, bukan untuk kepentingan duniawi. Niat yang ikhlas akan memengaruhi proses menghafal Al-Qur’an dan akan membawa keberkahan bagi dirinya.
Kedua, umur. Tidak ada batasan tentang umur bagi seorang yang akan menghafal Al-Qur’an. Sebab, pada waktu Al-Qur’an diturunkan pertama kali, banyak sahabat Nabi yang baru memulai menghafalkan Al-Qur’an setelah mereka dewasa dan bahkan sudah lebih dari 40 tahun.
Namun, umur yang paling baik pada saat memulai menghafal Al-Qur’an adalah lima tahun. Pada saat itu sel-sel otak untuk menyimpan informasi lebih banyak daripada sel-sel untuk menganalisis informasi. Sejalan dengan pertambahan umur, sel-sel penyimpan informasi sedikit demi sedikit digantikan oleh sel-sel yang menganalisis informasi. Oleh karena itu, orang tua pandai menganalisis informasi. Sementara anak-anak mu.. dah menghafal informasi. Ungkapan yang terkenal dalam hal ini adalah:
التعلم فى الصغر كالنقش على الحجر، والتعلم فى الكبر كالنقش على الماء
Belajar waktu kecil adalah laksana mengukir di atas batu, dan belajar setelah dewasa laksana mengukir di atas air
Kenyataannya; semakin tua umur seseorang semakin susah untuk menghafal. Ada yang berpendapat, dalam dunia keilmuan, yang paling baik untuk mulai menghafalkan Al-Qur’an adalahh sejak umur 5-7 tahun sampai 23 tahun.
Sejarah mencatat: Imam Syafi’i telah berhasil menghafal Al-Qur’an saat berumur 7 tahun. Saat menghadiri Musabaqah Al-Qur’an sebagai hakim (juri), saya melihat banyak sekali anak kecil di Iran yang sudah hafal Al-Qur’an. Mereka tampil di muka umum dan sanggup menjawab pertanyaan tentang kelanjutan satu ayat oleh dewan juri. Umur mereka di bawah 10 tahun. Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan kebesaran dan kehebatan Al-Quran yang bisa dihafal oleh orang yang tidak tahu artinya.
Ketiga, harus sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, benar, dan lancar agar ayat-ayat yang dihafalkan sudah benar sesuai dengan ilmu tajwid. Namun, bisa saja seorang anak kecil sudah diajari menghafal Al-Qur’an, walaupun anak tersebut belum bisa membaca Al-Qur’an, melalui lisan atau “Talaqqi Syafahz” namun hal ini tidak bisa terus-menerus.
Keempat, mushaf. Mushaf yang digunakan hendaknya satu macam saja, tidak ganti-ganti. Utamanya adalah mushaf “ayat pojok” yaitu setiap akhir halaman adalah akhir ayat. Yang paling masyhur saat ini adalah model mushaf “Menara Kudus” atau “Mushanadinah”. Mushaf model ini terdiri dari 15 baris. Satu juz terdiri dari 10 lembar. Sehingga 30 Juz terdiri dari 300 lembar atau 600 halaman.
Para ulama telah membagi mushaf model ini menjadi beberapa bagian atau terminal, yaitu setiap juz terdiri dari 2 Hizb. Setiap Hizb terdiri dari 4 bagian yang dinamakan “Tsumun” atau 1/ 8 juz. Setiap juz terdiri dari 8 bagian. Setiap “Tsumun” ada tanda tulisan yaitu “Rub’ul
Hizb” atau seperempat Hizb. jadi seluruh Al-Qur’an terdiri dari 30 juz x 8 = 240 tsumun. Bagi penghafal Al-Qur’an, bisa menjadikan setiap “Tsumun” menjadi terminal untuk menghafal satu bab atau bagian. jika setiap “Tsumun” bisa dihafal selama 2 hari, maka untuk menghafal 240 tsumun memerlukan 480 hari. Semua itu tergantung dari kemampuan masing-masing penghafal.
Kelima, sebagian ulama masa lalu menggunakan metode menulis ayat-ayat yang akan dihafalkan di “Lauh” atau papan atau juga buku tulis. Cara ini cukup efektif, karena pada saat menulis, seorang akan memperhatikan tulisannya sendiri, sehingga relatif mudah untuk dihafalkan.
Keenam, proses menghafal. Ada banyak metode menghafal al-Qur”an. Di bawah ini ada cara menghafal yang bisa dijadikan salah satu alternatif:
Langkah Pertama:
“Membaca ayat yang akan dihafalkan denqan melihat mushaf, sebanyak 10 sampai 30 kali dengan KonsentrasI penuh (fokus) dan sambil mulai menghafalkan.
Langkah Kedua:
Membaca ayat yang tadi dibaca sebanyak 10 sampai 30 kali, namun sesekali melihat mushaf dan sesekali tidak melihat mushaf.
Langkah Ketiga:
Membaca sekali lagi ayat tersebut tanpa melihat mushaf sebanyak 10 sampai 30 kali dengan konsentrasi penuh.
Langkah Keempat:
Membaca sekali lagi ayat tersebut sebanyak 10 sampai 30 kali dengan membelalakkan mata, tanpa melihat mushaf. Jika langkah keempat ini sudah bisa dilalui dengan lancar, berarti ayat tersebut sudah melekat di otak.
Ulangan sebanyak 10 kali seperti petunjuk di atas tergantung dari kecerdasan otak masing-masing. Ada yang hanya mengulangi ayat 4 sampai 5 kali sudah mampu dihafalkan.
Jika ayat yang akan dihafalkan agak panjang, bisa dipotong menjadi beberapa bagian. Lalu setiap bagian dihafalkan dan dilanjutkan dengan bagian yang lainnya.
Yang perlu diingat di sini: penghafal tidak boleh beralih menghafal ayat berikutnya sebelum ia hafal betul ayat pertama. Begitu pula ia tidak boleh berpindah menghafalkan surah berikutnya sebelum suranh yang pertama dihafal betul.
Inilah yang banyak terjadi di kalangan penghafal Al-Qur’an. Ia tergesa-gesa dalam menghafal Al-Qur’an dengan tujuan dapat banyak hafalan dalam waktu yang singkat tanpa memedulikan apakah mutu hafalannya baik atau tidak. Hal ini akan menjadi masalah di kemudian hari, yaitu sewaktu penghafal berada di pertengahan jalan. Materi hafalan pertama lupa lagi atau seperti kata orang: “Dipegang kepalanya lepas buntutnya, dan sebaliknya jika buntutnya dipegang kepalanya lepas.”
Ketujuh, menyambung akhir ayat dengan awal ayat berikutnya. Hal ini dilakukan karena menghafalkan satu ayat merupakan satu pekerjaan, dan menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya merupakan satu pekerjaan yang lain. jika dalam menghafal seorang langsung menghubungkan akhir ayat dengan awal ayat berikutnya, maka dua pekerjaan tersebut bisa dilakukan sekaligus. Sehingga ketika ia mengakhiri satu ayat, ia langsung terngiang dalam benaknya ayat berikutnya .
Kedelapan, istiqamah. Hal ini sangat penting. Sebab, tanpa istiqamah atau konsisten, sulit untuk menentukan lama waktu menghafal. Istiqamah yang dikehendaki adalah (1) istiqamah dalam waktu. Oleh karena itu, penghafal perlu mengatur waktu dalam sehari semalam dengan sebaik-baiknya dan perlu menyediakan waktu yang menurutnya paling tepat untuk menghafal. (2) Istiqamah dalam target hafalan. Artinya, jika ia telah menargetkan hafalan untuk satu hari misalnya setengah halaman, maka ia akan terus mengejar target tersebut setiap harinya, dan baru berhenti setelah targetnya tercapai.
Kesembilan, Takrir dan Tasmi’. Takrir artinya mengulang-ulang materi yang sudah ia hafalkan, yaitu dengan membacanya (Nderes: Jawa) di waktu yang lain. Penghafal bisa membagi waktu menjadi dua atau tiga bagian pada setiap harinya. Misalnya pagi hari untuk menghafal materi baru dan sore harinya untuk mentakrir materi yang telah dihafalkan, atau sebaliknya. Dalam Takrir bisa juga dilakukan dalam shalat fardhu atau sunnah.
Tasmi‘ ialah memperdengarkan hafalannya kepada orang lain yang lebih senior, yaitu mereka yang hafalannya lebih kuat. Dengan Tasmi’ ini seorang penghafal akan diketahui kekurangan pada dirinya. Karena bisa saja ia lengah dalam mengucapkan huruf atau harakat. Dengan Tasmi’, seseorang akan lebih berkonsentrasi dalam hafalan.
Metode Tasmi’ ini dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dengan Malaikat Jibril pada setiap bulan Ramadhan. Hal tersebut dilakukan secara bergantian antara Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril. Tujuannya jelas, yaitu agar wahyu yang telah diturunkan tidak ada yang berkurang.
Kesepuluh, memperhatikan Ayat Mutasyabihat. Ayat Mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mempunyai kemiripan dalam redaksi antara satu dan lainnya. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat mutasyabihat yang sering mengecoh seorang penghafal. Jika tidak diperhatikan betul, seorang penghafal akan beralih pada surah yang lain. Oleh karena itu, sebaiknya penghafal mempunyai catatan kecil tentang ayat-ayat Mutasyabihat ini pada buku khusus agar supaya mendapatkan perhatian lebih.
Adanya ayat-ayat Mutasyabihat dalam pandangan penulis adalah pertama: Al-Qur’an mampu untuk membikin redaksi yang berbeda-beda, namun tidak mengurangi nilai sastranya yang tinggi. Kedua: Agar para penghafal Al-Qur’an selalu konsentrasi dengan apa yang ia baca, baik untuk mengingat redaksinya ataupun artinya. Sebab jika tidak konsentrasi, ia akan terseok-seok ke mana-mana.
Kesebelas, waktu. Waktu menghafal terkait dengan keadaan setiap orang. Ada yang merasa enak menghafalkan Al-Qur’an setelah subuh atau malam hari sebelum subuh dan ada pula yang merasa pas menghafalkan setelah tidur siang, karena badan sudah “fresh” dan segar. Semuanya tergantung pada pribadi masing-masing. Yang penting adalah adanya “mood” atau semangat menghafal. Jika semangat tersebut sedang muncul, jangan disia-siakan. Sebab jika “Mood” itu hilang, akan sukar mendapatkannya kembali. Perut yang lapar atau kekenyangan akan mengganggu proses menghafal, karena pada tahap konsentrasi otak memerlukan darah segar. Iika perut lapar, maka otak akan terasa tumpul dan lelah.
Oleh karena itu, penulis tidak menghimbau berpuasa kala menghafal Al-Qur’an karena faktor tersebut. Kecuali bagi mereka yang mempunyai flsik yang tetap prima, baik waktu ia berpuasa atau tidak berpuasa.
Kedua belas, setor hafalan. Penghafal Al-Qur’an perlu menyetorkan hafalannya kepada seorang guru yang mumpuni dari waktu Ke waktu dengan tartil, utamanya dengan martabat “Tahqiq” (tingkat kecepatan membaca paling rendah). Iumlah ayat yang disetorkan sesuai dengan kemampuan masing masing.
Ketiga belas, muraja‘ah. Muraja‘ah adalah kegiatan membaca kembali (dengan hafalan) ayat yang telah dihafal agar betul-betul melekat dalam otak. Tanpa “muraja’ah”, ayat-ayat yang sudah dihafal sangat mudah terlupa. Seorang penghafal Al-Qur’an harus menyediakan waktu khusus untuk “muraja’ah” dan waktu khusus yang lain untuk menambah hafalan. Murja’ah hafalan bisa di luar shalat baik sendiri atau di hadapan teman, bisa juga di dalam shalat fardhu atau shalat sunnah.
Urutan Materi yang Dihafalkan
Salah satu adat/ kebiasaan para pendidik Al-Qur’an dari dulu ialah menyuruh anak didiknya menghafalkan AlQur’an dimulai dari Juz Amma, tepatnya dari surah “Annas” mundur ke belakang sampai surah “Annaba,”. Baru setelah itu dilanjutkan dengan menghafal surah-surah pilihan: seperti surah “Yasin”, “al-Jum‘ah”, “al-Munafiqun”, “aLKahf’; “al-Mulk” dan lain sebagainya. Maksudnya: jika Penghafal merasa tidak bisa lagi melanjutkan hafalannya” maka ia telah berhasil menghafalkan surah-surah penting yang bisa dipakai pada kesempatan-kesempatan tertentu. Kemudian, setelah surah-surah penting tersebut
sudah dihafalkan, maka penghafal bisa memum apakah dari qu 29, 28, 27 dan seterusnya atau memilih Juz aWaL Perhitungan menghafal dari qu 30 ialah karena ayatnya pendek-pendek dan begitu pula jumlah ayat pada setiap surahnya relatif lebih sedikit. Jadi, secara teknis lebih mudah untuk dihafalkan.
Hal-Hal yang Penting untuk Diperhatikan:
1. ketika menghafal, perut jangan terlalu kenyang dan jangan terlalu lapar
2. ketika menghafal harus dengan suara, jangan dalam hati saja .
3. ketika menghafal, bacaan harus tartil
4. ketika menghafal, pikiran harus jernih, jangan dalam keadaan kalut atau pusing
5. ketika menghafal, hati tetap berada pada situasi keimanan yang baik dan tidak boleh melakukan kemaksiatan. Hati yang bening akan cepat mudah menghafal. Amalan-amalan sunnah ketika mengv hafal bagai rabuk bagi tanaman.
6. Hal yang bisa membantu muraja‘ah hafalan adalah (a). mendengarkan bacaan orang lain melalui kaset, dll; (b) mengerti arti yang dibaca; (c) wiridan harian dengan membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf. jumlahnya bisa satu juz atau lebih.
7. Penghafal Al-Qur’an harus memperhatikan ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi (ayat mutasyabihat) yang tersebar di surah-surah al-Quran.
8. Penghafal Al-Qur’an perlu Inemperbanyak wirid, doa, dan amalan sunnah lainnya .
9. Orangtua penghafal perlu terus berdoa agar anaknya diberi kelancaran dalam menghafal. Doa orang tua sangat diperhatikan Allah. []