Mendudukkan Definisi Qirâ’ât
Oleh: Ahmad Syaifuddin Amin
Istilah Qirâ’ât memiliki beberapa makna yang cenderung berbeda satu sama lain. Di masa awal-awal Islam, istilah qirâ’ât berbeda dengan istilah qirâ’ât yang Kita kenal sekarang. Pun demikian di Indonesia, terkadang qirâ’ât juga sering mengalami penyempitan makna menjadi bacaan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan dengan naghamât tertentu.
Qirâ’ât secara bahasa berarti bacaan. Adapun dalam konteks ilmiah yang juga dipakai dalam nomenklatur penamaan MQI (Markaz Qiroat Indonesia), istilah qirâ’ât dapat dimaknai dengan beberapa opsi berikut:
1. Qirâ’ât adalah madzhab salah satu imam Qurrâ’ yang berbeda dengan imam lain dalam cara pembacaan al-Qur’an disertai dengan kesamaan riwayat maupun jalan periwayatannya baik dalam segi cara pengucapan huruf maupun pengucapan keadaan huruf tersebut (Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân, vol. 1, h. 412)
2. Qirâ’ât adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan menyandarkan kepada periwayatnya.(Ibn al-Jazari, Munjid al-Muqri’in, h. 3)
3. Qirâ’ât adalah perbedaan lafazh-lafazh wahyu (al-Qur’an) dalam penulisan huruf maupun cara pembacaannya baik dari segi penebalan atau penipisan bacaan dan lainnya.)ِAl-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 318)
Definisi kedua yang diajukan oleh Ibn al-Jazari di atas memang lebih dekat dengan definisi qirâ’ât sebagai suatu disiplin ilmu, kendati dalam definisi tersebut objek qirâ’ât juga dapat difahami dengan baik.
Walhasil, definisi-definisi yang diajukan para ulama di atas merujuk pada komponen penting yaitu: cara membaca kalimat/lafal dalam al-Qur’an dan penyandaran kepada periwayatan tertentu.
Tanpa ada kedua komponen di atas, Qirâ’ât pasti sudah mengalami pergeseran dari makna ilmiahnya baik kepada makna bahasa ataupun makna ‘urf. Sah-sah saja bila seseorang menggunakan kata qirâ’ât lain selain makna ilmiah di atas.
Misalnya kalimat qirâ’ât dalam hadits: “Rasulullah melarangku qirâ’ât al-Qur’an ketika aku ruku’ dan sujud” (HR. Muslim 210).
Tentu istilah qirâ’ât dalam hadits ini harus dimaknai secara tekstual. Pun demikian dalam hadits-hadits qawlî lainnya karena memang pada masa Rasulullah, definisi qirâ’ât sebagai sebuah disiplin ilmu belum muncul.
Contoh lain misalnya penggunaan istilah qirâ’ât dalam kalimay : “Saya ditunjuk oleh ketua panitia untuk membawakan qirâ’ât di acara nanti malam”. Dalam kalimat ini, tentu istilah qirâ’ât lebih cocok dimaknai secara ‘urf yaitu sebagai lantunan ayat suci al-Qur’an dengan lagu-lagu tertentu.
Untuk itu, sangat penting ketika mendengar istilah qirâ’ât untuk didudukkan dalam konteks dan makna apa kata tersebut dipakai agar tidak salah dalam memaknai dan memahaminya. []