PERJUANGAN MENGHAFAL AL QUR’AN HINGGA QIRA’AT ASYARAH SUGHRA DAN KUBRA DI NEGERI ORYX

Pada awal tahun 2007, aku bercita-cita dapat kuliah di kampus Al-Azhar Mesir. Sambil menunggu hasil tes kelulusan, aku memanfaatkan waktu untuk menggapai cita-cita menghafal Al-Qur’an di pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in Mojogeneng – Mojokerto. Namun takdir berkata lain, dari 100 calon mahasiswa yang diterima, aku berada di urutan 110.

Dalam keadaan sedih dan kecewa, aku berkata ke ibuku: “Ibu… aku mau melanjutkan studiku di luar negeri, dimanapun itu, aku mohon ibu merestuiku”.

Beliau sangat mendukungku melalui doa-doanya yang mustajab. Hingga tatkala hafalanku mencapai juz 12, tiba-tiba beliau mengabariku bahwa akan diadakan seleksi menjadi imam dan muazin di masjid Qatar dalam waktu 2 bulan kedepan. Bergegaslah aku mengulang hafalanku, hingga aku terhenti pada sebuah ayat di QS. Al-A’raf 133 yang berbunyi:

فأرسلنا عليهم الطوفان والجراد والقمل والضفادع والدم آيات مفصلت

Entah kenapa… setiap aku mengulang ayat ini beberapa kali, kata الضفادع selalu terlewat dari akalku. Puncaknya, aku tidak bisa menguasai diriku sendiri karena ada sosok jin yang bersarang dalam ragaku. Benar, jin tersebut masuk ketika akalku kosong memikirkan hafalan yang tak kunjung lancar. Beberapa ahli ruqyah mengobatiku, namun yang dapat menyembuhkanku saat itu adalah kedatangan orang tuaku di tengah malam dengan izin Allah Swt.

2 bulan berikutnya, aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes di hadapan 3 orang masyayikh arab yang datang dari Qatar. Singkat cerita, Dari sekitar 600-an peserta, terdapat 24 orang yang lulus tes. Alhamdulillah, aku adalah peserta termuda yang lulus diantara mereka.

Pada pertengahan bulan Agustus 2007, aku terbang ke Qatar beserta rombongan. Tak lupa orang tuaku berpesan 2 hal penting  jika aku sudah di Qatar. Pertama: agar aku menuntaskan hafalan Al-Qur’an hingga 30 juz. Kedua: melanjutkan studi di university. Tatkala aku sudah sampai dan menetap disini, segera aku susun strategi guna menuntaskan pesan pertama.

  • Memasang Target Khatam 30 Juz

“Pokoknya… selama 1 tahun pertama aku harus menuntaskan 18 juz yang belum terhafal” ujarku dalam hati dengan penuh tawakkal dan yakin.

Menjelang 1 tahun, Allah Swt memudahkan jalanku untuk umrah berkunjung ke Baitullah dan makam baginda Nabi Muhammad Saw. Tepat di Ar-Raudhah as-Syarifah (sebuah tempat diantara mimbar dan makam Nabi Saw), aku berhasil menyelesaikan hafalanku 30 juz, Alhamdulillah. Aku panjatkan mimpi-mimpiku disana sambil ber-tawassul  dengan selesainya hafalan ini. Diantara mimpi-mimpi tersebut, aku berdoa kepada Allah Swt agar mempertemukanku dengan seorang syekh yang ‘alim di bidang tajwid dan sabar membimbingku ber-talaqqi Al-Qur’an.

  • Memulai Talaqqi Dengan Syekh Umar Muhammad Hanafi

Berkunjung ke kediaman Syekh Umar Muhammad Hanafi

Setelah kembali dari menunaikan umrah, dengan izin Allah Swt aku bertemu dengan Syekh Umar Muhammad Hanafi rahimahullah dari Mesir. Beliau adalah sosok panutan yang sangat sabar membinaku, mengajariku dan membimbingku di dalam mempelajari tajwid Al-Qur’an.

Kala itu, aku tinggal di sebuah desa yang bernama Al-Nasiriyyah, sedangkan beliau berada di kota Doha. Untuk sampai kesana, aku harus naik bus oper 2 kali, dimana jadwal kedatangannya hanya 1 jam sekali. Walhasil, aku butuh 2 jam perjalanan pulang-pergi untuk bisa menyetorkan hafalan kepada beliau. Diantara rintangan yaang aku hadapi: macetnya kota Doha, berdesak-desakan dengan manusia, hingga cuaca yang sangat ekstrem. Itu semua aku lalui demi bisa menyetorkan 2 rubu’ hafalan. Keadaan seperti ini berlangsung selama 1 tahun lamanya.

Di tahun kedua, aku membeli sepeda motor RX agar lebih mudah datang ber-talaqqi. Berkendara motor di negeri Oryx ini memang sangat beresiko tinggi. Penyebabnya karena transportasi utama disini adalah mobil. Singkat cerita, selama berkendara, aku mengalami kecelakaan 4 kali. Yang paling parah hingga mengakibatkan patah tulang di pergelangan tanganku. Rintangan lain dalam berkendara adalah badai angin kencang bercampur pasir, cuaca panas hingga 50 °C dan cuaca dingin yang suhunya bisa mencapai 5 °C. Alhamdulillah, Allah Swt meneguhkanku hingga khatam selama 2,5 tahun dan mendapat ijazah riwayat Hafs ‘an ‘Ashim dari beliau rahimahullah.

  •  Memulai Talaqqi Dengan Syekh Abdun Nasir Abdul Hakam

Setelah beliau rahimahullah wafat di tahun 2010, seperti belum kenyang aku ber-talaqqi. Aku kembali berdo’a kepada Allah Swt agar mempertemukanku dengan guru lain yang juga ‘alim dan sabar mengajar. Setelah 2 tahunan, aku berjumpa dengan Syekh Abdun Nasir Abdul Hakam, seorang muqri’ yang ‘alim di bidang Qira’at Asyarah Sughra Mutawatirah, juga dari Mesir.

Di tahun 2012 ini juga, aku melangsungkan pernikahanku tatkala libur cuti ke Indonesia. Awalawal pernikahan ini adalah masa-masa bahagia dan juga cukup menantang, karena keharusan menghafal matan as-Syathibiyyah yang diwajibkan oleh Syekh Abdun Nasir sebelum memulai proses men-jamaQira’at Sab’ah hingga Asyarah. Aku berfirasat bahwa perjalanan thalabul ilmi bersama beliau kali ini adalah perjalanan panjang yang penuh rintangan dan cobaan.

Sesaat setelah usai khataman qiroat sab’ah di hadapan Syelh Abdurrasyid Sufi sebagai saksi

Oleh karena itu, aku berkata kepada istri tercinta: “Istriku sayang….. Aku mohon maafmu, aku berharap engkau dapat memaklumi keadaanku, waktu yang seharusnya aku berikan padamu akan banyak tersita untuk pengabdianku pada guruku!”.

Di awal proses talaqqi, aku diwajibkan menghafal 444 bait ushul as-Syatibiyyah sambil membaca syarah dihadapan Sang guru. Permintaanku untuk mengaji 3 kali seminggu dengan mentah beliau tolak. Bukan karena terlalu banyak jadwal mengaji, tapi terlalu sedikit.

“Kamu ini mengaji Qira’at sab’ah hingga Asyarah, bagaimana mungkin kamu datang 3 kali seminggu? Kamu harus datang 5 kali mulai Minggu hingga Kamis” tegas beliau katakan.

Seiring berjalan proses talaqqi selama 2 bulanan, beliau kembali berkata: “Ihsan….. Saya hari Sabtu ada urusan di luar biasanya, namun kamu bisa datang mengaji”.

Serasa mulutku tak mampu menjawab “tidak” atau “maaf, guru…!”, dengan penuh ketaatan aku katakan: “Sami’na wa atha’na ya syekh!”.

Beberapa bulan berikutnya, beliau kembali berkata: ”Ihsan… Hari Jumat biasanya saya olah raga di pinggir pantai Corniche, kamu juga bisa datang mengaji”.

Walhasil, setiap hari aku datang ber-talaqqi Qira’at Sab’ah tanpa libur. Aku sangat bersyukur kepada Allah Swt karena telah memberikan aku semangat dan ambisi belajar dan menghafal dengan skala waktu yang sangat padat. Semangat mengajar beliau yang luar biasa itulah yang menguatkanku untuk kokoh, kuat dan istiqamah dengan izin Allah Swt. Syekh Abdun Nasir adalah sosok guru yang akan memberikan segala ilmu dan waktunya jika menjumpai seorang murid yang bersungguh-sungguh. Sehingga, dalam sehari, tak jarang aku mendapatkan waktu 3 kali: pagi, siang dan malam. Waktu tambahan ini hanya diberikan kepadaku, tidak kepada murid-murid lainnya, Alhamdulillah atas nikmatnya thalabul ‘ilm.

Diantara keikhlasan dan kedisiplinan beliau dalam mengajar, bahwa beliau tidak memungut upah sepeser-pun dari murid-muridnya. Beliau adalah sosok yang tegas atas kecerobohan kami di dalam presensi kehadiran dan perihal mengulang hafalan bait-bait as-Syatibiyyah.

“Yang hari ini belum menyetorkan 100 bait ke rekannya, ia tidak boleh ber-talaqqi dengan saya, dan ia dihitung tidak masuk”. Ini adalah diantara ucapan beliau yang sangat aku ingat.

Hasil pencapaian yang beliau targetkan adalah seorang murid dapat menjelaskan dan melafalkan kata Al-Qur’an yang terdapat perbedaan baca dalam ilmu Qira’at, dimanapun letaknya. Bahkan, seorang mujaz (orang yang mendapat ijazah Al-Qur’an) dari beliau juga harus bisa menyebutkan “dalil bacaan” melalui matan as-Syatibiyyah yang telah dihafal dengan pemahaman dan detail yang terkait. Ini adalah hasil puncak yang jarang aku dapati, masyallah luar biasa…

Perjalanan thalabul ‘ilm ini bukan lagi hubungan antara murid dan guru, akan tetapi antara ayah dan anaknya. Aku berharap dapat meniru sahabat Anas bin Malik Ra yang setia melayani Nabi Saw selama beberapa tahun tanpa mengeluh. Aku saat itu adalah pelayan, supir, tukang pijit, tukang antar keluarga beliau. Aku siap melayani beliau 24 jam kapanpun beliau perlukan. Sering sekali aku menyetorkan bacaan sambil menyetir mobil dan beliau menyimak di samping kanan.

“Mana dalil as-Syatibiyyah-nya, bagaimana cara waqaf & washal pada kata ini, siapa saja yang membaca demikian, berapa kali kata ini berulang di Al-qur’an, ada berapa cara baca, bagaimana waqaf Imam Hamzah dan Hisyam pada kata ini”. ini adalah beberapa pertanyaan Qira’at  yang membuat konsentrasiku buyar ketika setor sambil menyetir mobil.

Dengan taufiq Allah Swt, pengabdian ini aku lalui selama 5 tahun lamanya dengan penuh kegigihan, kesabaran, dan keteguhan dalam belajar dan melayani sang guru. Hingga akhirnya, beliau memberikan amanat mengemban ijazah Qira’at Asyarah Sughra.

  • Memulai Talaqqi Dengan Syekh Dr. Ahmad Isa Al Ma’sharawi 

Perjalanan thalabul ilm ini belum berakhir dan semoga tidak akan pernah berakhir hingga akhir hayat. Beberapa bulan berikutnya aku berjumpa dengan Syekh Ahmad ‘Isa Al-Ma’sharawi yang juga mukim di Qatar. Siapa yang tidak kenal dengan beliau?. Beliau adalah pucuk pimpinan masyayyikh ilmu Qira’at dan ketua lajnah pentashihan mushaf di Mesir selama beberapa dekade.

Dengan berbekal ijazah Qira’at dari Syekh Abdun Nasir, aku memberanikan diri untuk menghadap beliau untuk kembali men-talaqqi-kan lagi ilmu Qira’at.

Setoran akhir Qiroat Ahlu Shilah kepada Syekh Dr. Ahmad Isa Al Ma’sharawi di kediaman beliau

Di awal pertemuan, beliau belum bisa menyanggupi permintaanku untuk mengaji dan memintaku datang lagi setelah 4 bulanan. Tanpa ada sedikitpun niatan mundur, aku datang lagi untuk kedua kalinya.

Beliau berkata: “Kalau kamu ingin ngaji, saya akan tes dulu hafalan as-Syatibiyyah (1173 bait) dan ad-Durrah (241 bait) yang telah kamu hafal, siap?”.

Aku jawab dengan penuh keyakinan: “Insyallah, siap Syekh!”.

Alhamdulillah, semua pertanyaan berhasil aku jawab dengan baik. Hingga akhirnya aku harus mundur dan kembali lagi setelah 2-3 bulanan karena belum beruntung bisa menjawab pertanyaan bait-bait ad-Durrah (Qira’at-Tsalats). Setelah aku merasa siap dengan hafalan baitbait ad-Durrah, kembali aku mendatangi beliau untuk ketiga kalinya. Tanpa memberikan pertanyaan satupun, beliau merasa yakin dengan hafalanku, sehingga langsung menerimaku untuk ber-talaqqi. Dengan izin Allah Swt, selama 2 tahunan aku khatam dan mendapatkan ijazah Qira’ah Ahlush-shilah  (Qalun, Ibn Katsir dan Abu Ja’far) dari beliau.

  • Memulai Talaqqi Dengan Syekh Muhammad Ibrahim Al Balakusi 

Serasa belum cukup ilmu, Allah Swt memudahkan jalan dakwahku dalam ilmu Qira’at. Dimulai dari: menyusun diktat matan as-Syatibiyyah dan ad-Durrah, me

Penandatanganan ijazah asyarah kubro oleh Syekh. Dr. Ahmad Isa Al Masharawi sebagai saksi

Penandatanganan ijazah asyarah kubro oleh Syekh. Dr. Ahmad Isa Al Masharawi sebagai saksi

mbuat vlog syarah as-Syatibiyyah dan ad-Durrah di Youtube, hingga mendirikan Yayasan berbasis online Markaz Qiroat Indonesia (MQI). Begitu juga, beberapa rekan dari Indonesia dan Arab mendatangiku. Mereka  berbaik sangka kepadaku agar bersedia menemani belajar bersama di bidang Qira’at, baik melalui online atau ofline. Selain berdakwah, aku berharap semoga Allah Swt menjaga dan menetapkan sedikit ilmuku ini melalui kegiatan-kegiatan tersebut.

 

 

Upgrad ilmu bagi seorang pendakwah adalah sebuah keharusan. Berangkat darisini, Allah Swt mudahkan jalanku kembali untuk ber-talaqqi Qira’at Asyarah Kubra kepada Syekh Muhammad Ibrahim Al-Balakusi dari Mesir. Beliau juga mensyaratkan agar aku menghafal matan Thayyibatun Nasyr yang berjumlah  1014 bait. Awal mula, aku keberatan karena sangat sulit menghafal kembali ribuan bait tersebut. Namun, dengan izin Allah Swt hal tersebut dimudahkan hingga khatam men-jama’ 30 juz selama 1,5 tahun dengan waktu setoran yang sangat padat dan penuh perjuangan di dalam menghafal.

 

 

  • Memulai Talaqqi Dengan Syekh Muhammad Yasir Arnus

Sampai saat ini, aku masih menyetorkan sedikit ilmuku kepada seorang Syekh di Doha. Beliau adalah Syekh Muhammad Yasir Arnus dari Homs – Syria, murid dari Syekh Bakri At-Tharabisyi, pemilik sanad Qira’at tertinggi di dunia rahimahullah. Dengan kesibukan beliau yang sangat padat, aku memohon dan “mengemis” waktu beliau untuk menerimaku menjadi muridnya. Aku tak peduli berapa lama aku akan khatam. Yang terpenting adalah bagaimana aku supaya tidak terlepas dari bimbingan seorang guru yang senantiasa mengarahkanku kepada jalan tuhanku. Alhamdulillah, aku berhasil menyetorkan Qira’at Asyarah Sughra ke beliau hingga mendekati akhir QS. Hud As.

  • Penutup

Berdasarkan kisah ber-talaqqi selama ini, aku menemukan sebuah pelajaran berharga. Bahwasannya thalabul ‘ilm adalah kesetiaan, kesabaran, bakti, usaha, lelah, pahit, pengorbanan, cinta, perhatian, pantang menyerah dan pengabdian pada seorang guru. Maka sebatas mana kita dapat bertahan, maka di situlah letak keberhasilan kita. Betapa indah apa yang disampaikan oleh as-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki -seorang ulama dari Makkah- dalam sebuah ungkapan:

ثبات العلم بالمذاكرة ،وبركته بالخدمة، ونفعه برضا الشيخ

Artinya: “Ilmu dapat eksis sebab mudzakarah (selalu mengulang pelajaran), keberkahannya didapat dari khidmah (melayani guru), dan manfaatnya diperoleh dari ke-ridho-an seorang guru”.

Demikian sekelumit kisahku bersama Al-Qur’an. Semoga Allah Swt merahmati guru-guruku yang sudah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup. Dan semoga Allah Swt memberikan kita semua taufiq-nya melalui cerita ini, sehingga dapat memberikan semangat belajar bagi siapapun yang membacanya. Amin ya rabbal ‘alamin.

Mochamad Ihsan Ufiq

Diaspora Indonesia di Qatar

Mujaz Qiraat Asyarah Sughra & Kubra

 

Leave a reply