Degradasi Halaqat Qiraat di Qatar
Tulisan ini dikutip dari catatan pribadi Ustadz Muhammad Ihsan Ufiq selama beliau tinggal di Qatar, berikut pemaparannya:
“Izinkan Al Faqir menceritakan keadaan halaqah ilmu qiraat kami di Qatar yang di asuh oleh Syaikhuna Syekh Abdun Nashir hafidzahullah.” Al Faqir termasuk diantara murid yang merasakan pergantian angkatan atau generasi di antara murid-murid beliau.
Kira-kira 4-5 tahunan lalu sebelum kedatangan murid-murid baru- keadaan kami dalam belajar dapat kami sampaikan sebagai berikut:
1. Need For Speed Racing
Demi supaya dapat dahuluan setoran ke syekh, setelah salam kedua shalat subuh kami bergegas berangkat. Di jalan utama pas lampu merah kami seringkali bertemu. Ketika lampu hijau, mulailah kami saling kebut-kebutan sampai tempat tujuan, karena siapa yang datang duluan maka ia yang setor duluan.
Sampai pernah suatu saat kita geger bertengkar gara-gara saling balap hampir tabrakan. Waktu itu Al Faqir VS kawan dari Yaman. Namun setelahnya kita langsung baikan, Alhamdulilah….. :). Adapun sekarang…..
Setelah shalat fajar, Al Faqir masih sempat santai, fban, main HP, ke toilet dll. Berangkat ke masjid syekh santai tanpa kebut-kebutan, sampai di masjid ternyata belum ada satupun yang hadir, kecuali syekh saja yang menunggu sambil melakukan kebiasaan beliau baca wirid.
2. Berantem Sebab Sima’an Syatibiyyah
Sudah menjadi rahasia bahwa tholib/murid yang belum setoran matan ke kawan minimal 100 bait maka ia tidak boleh setor ke syekh. Nah, aturan yang berlaku pada kami adalah “at taswiyah”, setoran kedua belah fihak harus sama. Kalau setor 100, rekannya juga harus setor 100 dll.
Sempat Al Faqir merasa terdzalimi, ada kawan setor 400 bait. Pas giliran Al Faqir setor, cuma dikasih jatah 100 bait. Disini kami “berkelahi” saling mengadu kedzaliman. Jangan mentang- mentang Al Faqir orang ajam dari Indonesia lalu dikira tidak bisa ngamuk. “Ti-ati sampian, engkok reng medure, caro’ coooong!”.
Akhirnya kami berdua disidang syekh, lalu baikan. Dan sejak itu metode saling sima’ matan As Syatibiyyah dirubah dengan cara per-waktu sebagaimana akan Al Faqir ceritakan pada poin ke enam dibawah ini.
Adapun zaman now…..
Boro-boro saling setor per 100 bait. Syekh Abdun Nashir sudah segalak itu saja nyatanya masih santai-santai saja. Setoran matan cenderung se-sempatnya saja dan kurang ada perhatian untuk istiqamah kecuali yang telah diberi taufiq Allah Swt.
3. Saling Sikut Melayani Guru
Jadwal setoran kami termasuk super maraton, setiap hari ba’da fajar, libur hari Jumat saja. Namun diluar waktu tersebut, kami saling berebut waktu beliau hafidzahullah.
Kami benar-benar menanti waktu, barangkali syekh ada urusan di luar, supaya kami dapat mengantar beliau. Sebagai imbalannya kami dapat waktu setoran lebih banyak.
Siapa cepat dia dapat. Maka betapa sering Al Faqir kecewa karena kedahuluan kawan dari Mauritania. Sejak itu, benar-benar kita “stay connected” dengan beliau. Sayang sekali bila waktu beliau terbuang sia-sia.
Adapun zaman serba instan now….
Boro-boro saling sikut melayani. Apa gara-gara halaqah beliau didirikan secara gratis lantas dimintai tolong melayani guru saja merasa keberatan atau tidak secara totalitas. Maka betapa indah ungkapan:
انا عبد من علمنى ولو حرفا
“Seorang murid harus benar-benar “menghamba” pada gurunya.”
4. Saling Iri Satu Sama Lain Dalam Pencapaian Setoran
Dulu kami memiliki buku catatan setoran yang selalu dipantau syekh dalam pencapaian. Al Faqir punya teman munafasah (seperjuangan setingkat belajar) dari Mesir. Setiap kali selesai setor, beliau selalu melihat dimana al faqir selesai setor lewat catatan tersebut. Bila Al Faqir mendahului beliau, maka beliau akan bergegas agar dapat mengejar Al Faqir. Begitu sebaliknya Al Faqir melakukan, sehingga “munafasah” sangat terasa berharga.
Adapun zaman now…
Tak ada lagi catatan, musnah sudah munafasah tersebut. Masing-masing melihat pencapaian diri sendiri, mau duluan silahkan, mau telat silahkan. Mau berhenti gak ngaji lagi, mau ghaib tanpa izin suka-suka gua. Padahal syekh Abdun Nashir sudah segalak itu, namun apa daya, semuanya tergantung taufiq Allah Swt.
5. Saling Berlomba Cepet-Cepetan Memberi Dalil
Manhaj yang digunakan syekh Abdun Nashir adalah manhaj serba ndalil syatibiyyah. Setiap ayat yang disini terdapat khilaf qiraat, sang tholib distop dulu sebelum melanjutkan dan ditanya : “Datangkan dalil As Syatibiyyah”.
Nah bila seorang murid sedang mampet, maka ia akan berfikir lama yang mengakibatkan buang- buang waktu yang diberikan sang syekh, sehingga hukumannya ia setoran sedikit. Nah disaat inilah pertanyaan dilempar ke kami yang di sekelilingnya dan saling berlomba cepet-cepetan ndalil.
Adapun tholib zaman now….
Tahuuuuu ah tiba-tiba gelap.
6. Sima’ Matan Dengan Hitungan Menit
Sempat berseteru gara-gara ketidak-adilan dalam saling simak matan, akhirnya dirubah peraturan untuk sima’an dengan waktu per 20-25 menit. Dari waktu tersebut kami merasa teradili. Namun, na’as, dari sini kami saling membongkar aib masing-masing.
Bilamana dalam waktu tersebut dapat terbaca sekitar +200 baitan maka bila cuma bisa baca kurang, maka tandanya diantara kami ada yang kurang lancar dan banyak putus-putus setoran. Dari sini kami termotivasi lancar-lancaran dan saling mempermalukan satu sama lain.
Adapun murid zaman now….
Boro-boro, bisa setoran rutin harian saja itu udah sangat hebat banget. Adapun setelahnya tauuuuh ah gelap lagi.
Demikian cerita Al Faqir berdasarkan apa yang dialami selama masa sebelum dan sesudah transisi pergantian generasi. Sekaligus juga menjadi keluh-kesah Syekh Abdun Nashir yang beberapa kali mengadu ke Al Faqir atas perubahan keadaan tersebut .
Karena hal-hal demikian ini, sampai beliau bercerita bahwa gurunya beliau Syekh Abdur Rashid Syekh Ali Sufi sudah mulai enggan mengajar lagi ilmu qiraat lagi. Semoga kita dapat memetik pelajaran untuk diri kita bersama dan dapat berintrospeksi diri.
Semakin banyak dan dipermudah wasilah belajar seperti : video YouTube, kitab pdf gratis, ringkasan, catatan, metode praktis dll namun kenapa ambisi belajar semakin meredup. Apakah ini pertanda sudah dicabutnya barakah ilmu? Wallahu a’lam. Semoga Al Faqir terlalu gegabah dan salah di dalam menilai.
Pakar ilmu dunia, ahli debat politik, ahli sedekah, ahli dakwah sudah sangat cukup banyak di Indonesia ini, cukuplah merekayang menjalankan. Sedangkan kita mari mengisi “posisi-posisi kosong” atau “jabatan-jabatan” yang jarang diminati pada agama ini. Semata-mata tak lain demi menggapai ridho Allah Swt. Wallahul muwaffiq
Salam perdamaian dan persahabatan []
(Mochamad Ihsan Ufiq , Doha, 25 Oktober 2018)